1.918 Anak Menderita Gizi Buruk di NTT

label
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk selama Januari-Mei 2015. Tercatat 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat gizi buruk. Selain itu, masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.


Kepala Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT) Isbandrio, di Kupang, Senin (22/6), mengatakan, penderita gizi buruk dialami keluarga miskin yang tinggal di wilayah terpencil dan pedalaman. Mereka sulit dijangkau kendaraan bermotor karena ketiadaan jalan.
Pemahaman ibu terhadap gizi pun sangat rendah. Itu diperparah dengan kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 2014 sehingga banyak petani gagal panen.
Kondisi itu menimbulkan krisis pangan sehingga makanan yang dikonsumsi anak pun berkurang, bahkan tidak bergizi. ”Kekurangan gizi itu membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare. Lalu menimbulkan kematian,” kata Isbandrio.
Kasus gizi buruk terjadi di hampir semua kabupaten di NTT. Kasus terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Kasus gizi buruk sebetulnya selalu terjadi setiap tahun di NTT. Tahun 2014, misalnya, tercatat 2.100 anak penderita gizi buruk dan 15 anak di antaranya meninggal, serta tercatat 3.121 anak balita mengalami kurang gizi.
Pracella Bone (2 tahun) dan Ulan Kaunan (10 bulan), misalnya, keduanya warga Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, meninggal pada 12 Mei lalu akibat gizi buruk dengan penyakit penyerta keduanya berupa pneumonia berat, batuk pilek, demam, dan diare.
Desa Manusasi terletak sekitar 50 kilometer dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Akses dari desa itu ke Kefamenanu sangat sulit kecuali menggunakan jasa ojek dengan biaya Rp 200.000 per perjalanan.
Buruknya infrastruktur dan sulitnya akses transportasi membuat penderita gizi buruk tak terkontrol oleh petugas kesehatan. Akibatnya, penderita dengan mudah digerogoti berbagai penyakit lain.
Perawatan khusus
Kepala Dinas Kesehatan NTT Stefanus Bria mengatakan, kasus gizi buruk tak hanya tanggung jawab dinas kesehatan. Beberapa instansi pemerintah ikut bertanggung jawab karena gizi buruk erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. ”Koordinasi antarinstansi pemerintah belum berjalan,” ujarnya.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi NTT telah memperkuat posyandu dengan pemberian makanan tambahan kepada anak balita agar tidak masuk kategori gizi buruk atau kurang gizi. Anak yang masuk kategori gizi buruk atau kurang gizi mendapat perawatan khusus di rumah sakit atau puskesmas terdekat. Penyebaran tenaga perawat ke puskesmas juga diperbanyak, selain dukungan instansi lain untuk pengadaan beras miskin serta program pemberdayaan masyarakat.
Ketua Komisi V DPRD NTT Winston Rondo mengingatkan Pemprov NTT untuk mewaspadai periode Juni-Desember yang merupakan puncak musim kemarau dan rawan pangan di sejumlah daerah NTT. Pemerintah harus mewaspadai meningkatnya kasus gizi buruk enam bulan ke depan.
”Kasus rawan pangan dan gizi buruk merata di hampir semua kabupaten,” ujarnya.
Pemahaman ibu
Selain faktor kemiskinan, tingginya kasus gizi buruk juga dipengaruhi rendahnya pemahaman ibu terhadap makanan bergizi. Ibu memberikan makanan asal kenyang kepada anak balita, tanpa memahami asupan gizinya.
Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat NTT Sarah Lery Mboik menilai, revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang diluncurkan pada 2012 dengan mengalokasikan anggaran miliaran rupiah tidak banyak berpengaruh terhadap masalah gizi buruk di NTT. Kasus gizi buruk di NTT sudah menahun, terjadi sejak 20 tahun silam, dan tidak pernah berubah sampai hari ini.
”Setiap penyusunan APBD antara pemda dan DPRD ujung- ujungnya untuk kepentingan mereka, melalui sejumlah proyek siluman. Rakyat selalu jadi korban. Kalau ada anggaran untuk rakyat, seperti Program Anggur Merah, pun hanya bagi kelompok warga yang mendukung kepala daerah itu, sementara rakyat yang dianggap lawan politik diabaikan begitu saja,” ujarnya.
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyatakan, persoalan gizi di NTT sangat kompleks karena banyak faktor terkait yang berkontribusi terhadap munculnya gizi buruk. Intervensi yang dilakukan tidak bisa memberikan dampak yang cepat dan tidak bisa menjangkau aspek pola asuh anak.
Status gizi buruk di NTT bukanlah gizi buruk dalam arti marasmus kwashiorkor, melainkan wasting atau kurus. Selain status gizi yang rendah secara umum, angka wasting dan stunting di NTT juga tinggi.
”Persoalan gizi buruk di NTT tak bisa diputus begitu saja. Pemerintah dan LSM telah berupaya melakukan berbagai intervensi. Namun, pemerintah tidak bisa mengintervensi pola asuh,” ungkap Anung.
Dia mengatakan, beberapa intervensi yang dilakukan selama ini adalah tambahan makanan bagi ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis agar bayi yang dilahirkan memiliki berat badan yang cukup.
Selain itu, setelah lahir, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan dan makanan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) setelah enam bulan terus digalakkan. Ini ditambah dengan pemberian suplementasi zat gizi mikro untuk bayi. Adapun intervensi yang menyangkut aspek penunjang di luar aspek gizi ialah pemberian imunisasi dasar lengkap.(KOR/ADH)
Share This :



sentiment_satisfied Emoticon